Bagi
seorang laki-laki, terkhusus bagi mereka yang sudah memiliki istri satu
atau lebih, ada beban besar dipundaknya yang harus dia terima sebagai
konsekwensi seorang laki-laki dewasa, bahwa sebagai seorang suami nafkah
istrinya menjadi tanggung jawab yang harus dipenuhi, dan sebagi seorang
anak dari kedua orang tua, jika memang mereka masih ada dan sudah tidak
berpenghasilan maka beban nafkah orang tua juga harus dipikirkan.
Mencintai
istri artinya seorang suami siap bertanggug jawab dengan kehidupannya
dengan segala kebutuhannya, sehingga senyum bahagia itu selalu terlihat
diwajah sang kekasih, dan menjadi anak laki-laki artinya juga harus siap
bahwa dalam kondisi orang tua yang sudah lanjut usia apalagi sudah
tidak berpenghasilan maka makan minum mereka juga harus diperhatikan,
sehingga sebagai anak yang berbakti juga bisa membuat kedua orang tua
terus tersenyum dihari tuanya.
Nafkah Istri
Seluruh
ulama satu kata dalam hal ini/ijma’ bahwa wajib hukumnya suami memberi
nafkah kepada istrinya setelah adanya proses pernikahan yang sah.
Terlepas bahwa dalam sebagian kondisi justru istri yang “kelihatannya”
memberi nafkah untuk suaminya karena suaminya pengangguran.
Maka
dalam hal ini patut kiranya kita berikan apresiasi yang sebesarnya
untuk sebagian istri yang sudah berlapang dada memberikan kebaikannya
untuk keutuhan dan keharmonisan keluarga, walaupun sejatinya bisa saja
bagi perempuan untuk menggugat perceraian karena alasan nafkah ini, tapi
itu bisanya tidak dilakukannya.
Kewajiban
nafkah yang dimaksud disesuaikan dengan kebutuhan standar istri baik
sandang, pangan, maupun papan, tanpa harus ada batasan minimal atau
maksimal, setidaknya ini adalah pendapat mayoritas ulama fikih dari
Hanafiyah, Malikiyah, sebagian dari Syafiiyah dan mayoritas ulama
Hanabilah.
Pendapat ini didasarkan pada firman Allah swt dalam surat Al-aqarah: 233:
وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
“dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf”
Dalam ayat diatas tidak disebut batasan minimal dan maksimal, justru yang ada hanya penyebutan ma’ruf (baik) dimana standarnya diserahkan kepada tempat dan budaya masing-masing.
Ayat diatas didukung dengan hadits Rasulullah saw terkait
pesan beliau kepada Hindun yang mengadu bahwa suaminya tidak memberikan
nafkah kepadanya, sehingga Rasulullah saw mengatakan:
خُذِي مَا يَكْفِيكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوفِ
“Ambillah apa yang cukup untuk mu dan untuk anakmu dengan ma’ruf’ (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam
kaitannya dengan jenis nafkah istri intinya memang sandang, pangan dan
papan, namun sebagian ulama fikih juga nemambahkan kewajiban jenis
nafkah lainnya, seperti alat kecantikan, kebersihan, kesehatan,
obat-obatan, hingga upah pembantu rumah tangga jika istri adalah bagian
dari perempuan yang terbiasa diurus oleh pembantu selama berada bersama
orang tuanya dulu.
Nafkah Orang Tua
Selain
dari istri ternyata ada kewajiban tambahan dalam menafkahi keluarga,
ini yang kadang kurang disadari oleh kita semua. Ada perbedaan pendapat
dikalangan para ulama fikih terkait siapa keluarga yang dimaksud,
sebagian pendapat ada yang cenderung menyempitkan, dan sebagian pendapat
lainnya ada yang bahkan sangat meluaskannya.
Namun pada akhirnya ada titik temu antara pendapat para ulama dalam urusan menafkahi keluarga, bahwa setiap ushul (bapak) wajib menafkahi furu (anak) dan kebalikannya juga bahwa setiap furu (anak) wajib menafkahi ushul (bapak).
Dalm kaitannya ushul ke furu Allah swt berfirman:
وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
“dan kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian kepada Para ibu dengan cara ma'ruf”
Pemaknaan ayah dalam ayat di atas diungkap dengan redaksi maulud lahu /
anak yang terlahir untuknya, disebut ayah karena ada anak yang
dilahirkan oleh istrinya, jika istri yang melahirkan anak ini saja wajib
diberi nafkah, maka sudah langsung otomatis anak ini juga wajib
dinafkahi.
Ditambah dengan hadits Rasulullah saw kepada Hindun:
خُذِي مَا يَكْفِيكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوفِ
“Ambillah apa yang cukup untuk mu dan untuk anakmu dengan ma’ruf’ (HR. Bukhari dan Muslim)
Dan dalam kaitannya furu (anak) menafkahi ushul (bapak) Allah swt berfirman:
وَقَضَى رَبُّكَ أَلاَّ تَعْبُدُوا إِلاَّ إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا
“dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan
menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu
dengan sebaik-baiknya” (QS. Al-Isra: 23)
Dan termasuk dalam katagori ihsan/berbuat baik
adalah menafkahi keduanya terlebih disaat mereka sudah tidak ada lagi
pendapatan karena fisik yang sudah tidak kuat untuk bekerja, atau karena
suatu keadaan sehingga mereka tidak mempunyai harta yang cukup.
Ditambah dengan sabda Rasulullah saw:
أَنْتَ وَمَالُكَ لِوَالِدِكِ، إِنَّ أَوْلاَدَكُمْ مَنْ أَطْيَبِ كَسْبِكُمْ، فَكُلُوا مِنْ كَسْبِ أَوْلاَدِكُمْ
“Kamu dan hartamu adalah milik orang tuamu, sesungguhnya
anakmu adalah hasil terbaik usahamu maka makanlah dari hasil usaha
anakmu” (HR. Abu Daud)
Nafkah Istri dan Orang Tua, Mana yang Harus Diutamakan?
Pada
dasarnya menafkahi istri dan orang tua (yang sudah tidak mampu) harus
berjalan beriringan, tidak memilih satu dan yang lain ditinggalkan, dan
ini harus diusahakan dengan sekuat mungkin, seperti itulah agaman
menginginkan, dan tentunya kita semua bercita-cita bahwa istri dan kedua
orang tua kita dirumah hidup bahagia.
Namun jika
memiliki pemasukan yang cukup atau bahkan kurang, maka para ulama
berpendapat bahwa nafkah untuk istri dan anak harus lebih diutamakan
sebelum nafkah yang lainnya. Hal ini disandarkan ke beberapa teks agama
utamanya dari hadits Rasulullah saw, seperti dalam riwayat Imam Muslim:
عَنْ
جَابِرٍ أن رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ :
ابْدَأْ بِنَفْسِكَ فَتَصَدَّقْ عَلَيْهَا ، فَإِنْ فَضَلَ شَيْءٌ
فَلِأَهْلِكَ ، فَإِنْ فَضَلَ عَنْ أَهْلِكَ شَيْءٌ فَلِذِي قَرَابَتِكَ ،
فَإِنْ فَضَلَ عَنْ ذِي قَرَابَتِكَ شَيْءٌ فَهَكَذَا وَهَكَذَا ، بَيْنَ
يَدَيْكَ ، وَعَنْ يَمِينِكَ ، وَعَنْ شِمَالِكَ
Dari Jabir bahwa Rasulullah saw bersabda: “Mulailah
(nafkah) dari dirimu, jika berlebih maka nafkah itu untuk ahlimu, jika
berlebih maka nafkah berikutnya untuk kerabatmu, jika masih berlebih
maka untuk orang-orang diantaramu, sebelah kananmu dan sebelah kirimu” (HR. Muslim)
Lebih lanjut, Rasulullah saw dalam sabda yang lainnya menjelaskan:
وعن أبي هريرة رضي الله عنه قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : تَصَدَّقُوا. فَقَالَ رَجُلٌ : يَا رَسُولَ اللَّهِ عِنْدِي دِينَارٌ .فَقَالَ : تَصَدَّقْ بِهِ عَلَى نَفْسِكَ قَالَ : عِنْدِي آخَرُ قَالَ : تَصَدَّقْ بِهِ عَلَى زَوْجَتِكَ .قَالَ : عِنْدِي آخَرُ .قَالَ : تَصَدَّقْ بِهِ عَلَى وَلَدِكَ . قَالَ : عِنْدِي آخَرُ .قَالَ : تَصَدَّقْ بِهِ عَلَى خَادِمِكَ. قَالَ : عِنْدِي آخَرُ . قَالَ: أَنْتَ أَبْصَرُ
Dari Abu Hurairah berkata: Rasulullah saw bersabda: “Bersedekahlah kalian”, lalu seseorang berkata: “Ya, Rasulullah saya mempunyai dinar” Rasulullah menjawab: “Sedekahlah dengan dinar itu untuk dirimu sendiri”. Dia berkata lagi: “Saya mempunyai (dinar) yang lainnya”. Rasulullah menjawab: “sedekahlah dengan itu untuk istrimu”. Dia berkata lagi: “Saya mempunyai dinar yang lainnya”, Rasulullah menjawab: “Sedekahlah dengan itu untuk anakmu”. Dia berkata lagi: “Saya mempunyai dinar yang lainnya”. Rasulullah menjawab: “Sedekahlah untuk pembantumu”. Dia berkata lagi: “Saya mempunyai dinar yang lainnya”. Rasulullah menjawab: “Kamu lebih tahu (untuk siapa lagi setelah itu) (HR. Abu Daud dan Nasai).
Dari sini
para ulama melihat bahwa Rasulullah saw dalam hadits diatas mengurutkan
mulai dari yang paling utama; istri, anak, pembantu. Nafkah pembantu
idealnya juga bagian dari nafkah istri, seperti yang sudah dijelaskan
pada paragraf diatas. Lebih jelas berikut ini komentar sebagian ulama
dalam perkara siapakah yang harus didahulukan jika memang nafkah istri
dan orang tua tidak bisa berjalan keduanya:
وقال
النووي : " إذا اجتمع على الشخص الواحد محتاجون ممن تلزمه نفقتهم ، نظرَ:
إن وفَّى ماله أو كسبه بنفقتهم فعليه نفقة الجميع قريبهم وبعيدهم .وإن لم يفضل عن كفاية نفسه إلا نفقة واحد ، قدَّم نفقة الزوجة على نفقة الأقارب.
Imam An-Nawawi dalam kitab Raudhatu At-Thalibin (jilid 9, hal. 93) menuliskan
bahwa jika seseorang dibebani nafkah untuk orang-orang yang membutuhkan
lebih dari satu orang, maka jika hartanya cukup untuk keduanya dia
wajib menafkahi semuanya, namun jika hartanya tidakmencukupi kecuali
untuk satu orang maka nafkah untuk istri lebih diutamakan dibanding
nafkah keluarga lainnya.
قال
المرداوي : " الصَّحِيحُ مِنْ الْمَذْهَبِ : وُجُوبُ نَفَقَةِ أَبَوَيْهِ
وَإِنْ عَلَوَا ، وَأَوْلَادِهِ وَإِنْ سَفَلُوا بِالْمَعْرُوفِ ...إذَا
فَضَلَ عَنْ نَفْسِهِ وَامْرَأَتِهِ
Imam Al-Mawardi dalam kitabnya Al-Inshaf (jilid
9, hal. 392) menjelaskan bahwa pendapat yang shahih dalam madzhab
Hanbali bahwa wajib hukumnya menafkahi ayah (terus keatas) dan anak
(terus kebawah) dengan cara yang ma’ruf… itu semua jika memang masih ada
harta lebih setelah menafkahi diri sendiri dan istrinya.
قال الشوكاني: " وقد انعقد الإجماع على وجوب نفقة الزوجة ، ثم إذا فضل عن ذلك شيء فعلى ذوي قرابته "
Imam As-Syaukani dalam kitabnya Nail Al-Authar (jilid 6, hal. 381) menegaskan
bahwa kewajiban memberi nafkah istri itu sudah sampai pada tahap ijma’,
kemudian jika masih ada kelebihan harta barulah ada kewajiban nafkah
untuk keluarga lainnya.
Sekali lagi bahwa sebisa mungkin masalah nafkah istri dan orang tua harusnya
berjalan beriringan, tidak memilih satu dan yang lain ditinggalkan, dan
ini harus diusahakan dengan sekuat mungkin, seperti itulah agaman
menginginkan, dan tentunya kita semua bercita-cita bahwa istri dan kedua
orang tua kita dirumah hidup bahagia.
Terlalu
memihak kepada istri dalam urusan nafkah terkadang bisa membuat hati
kedua orang tua tidak enak, penulis hanya khawatir kalau-kalau yang
demikian bisa menjadi dosa durhaka kepada orang tua, lebih khawatir lagi
jika kisah Al-Qamah yang durhaka itu terulang kembali, yang pada akhirnya sangat susah sakaratul mautnya.
Dan sebaliknya, terlalu memihak kepada orang tua sehingga abai terhadap
nafkah istri juga bukan hal yang baik, karena sebaik-baik kalian adalah
yang paling baik degan keluarganya (baca:istri), dan saya (tegas
Rasulullah saw) adalah yang paling dengan keluarga (baca: istri).
Wallahu A’lam Bisshawab
0 komentar:
Post a Comment